Buntut Aksi Mogok, Buruh BPR Khawatir Diintimidasi

Ilustrasi Foto:nalar.id

OKU Timur, Media Advokasi Hasil putusan perkara di Sistem Informasi  Pengadilan Negeri Palembang  dengan No. Pekara 114/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Plg, diduga jadi dasar rencana perubahan sistem kerja buruh di PT. Belitang Panen Raya (BPR), dari sebelumnya aksi mogok buruh yang menuntut kejelasan status buruh, hingga buntut dari aksi sendiri timbulkan kekhawatiran akan adanya intimidasi terhadap nasib buruh, Jum'at (12/06/2020).

Berdasarkan berita sebelumnya klik disini, terkait PT. BPR II membayar upah buruh di bawah UMSP, diduga menjadi dasar perubahan sistem perjanjian kerja terhadap buruh, dimana buruh PT. BPR menolak akan adanya perubahan status buruh menjadi pekerja Borongan.

Hasil wawancara dari beberapa pekerja diketahui ada yang sudah bekerja dari tahun 2014 hingga sekarang tanpa adanya jeda atau istirahat, dengan jam kerja mulai dari jam 08.00 WIB hingga 17.00 WIB selama 6 hari kerja, sedangkan libur dihari minggu. Hal ini dianggap bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003, dimana jam kerja maksimal 40 jam selama 1 minggu. “Saya melamar ke perusahaan seperti biasa, dan dipanggil oleh pihak perusahaan, terus ada perjanjian kerja 1 tahun, saat saya bertanya setelah 1 tahun saya bagaimana, HRD saat itu ungkap yang bekerja aja terus”. Ungkap Pekerja X (nama disamarkan) sambil menirukan HRD yang saat itu.

Terkait salinan dari surat perjanjian kerja sendiri tidak ada dari para pekerja mendapatan salinan, “Kami hanya menandatangani, tidak ada salinan atau copy yang kami terima”. Jelasnya. Menurut, UU No.13 Tahun 2003 Pasal 54 Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Status pekerja sendiri dikenal dengan istilah pekerja harian dan pekerja bulanan dimana pekerja tersebut sistem gajinya sama dibayar bulanan, sedangkan menurut Kasie Upah Minimun Syaker dan Jamsos, RM. Edy Ali, SH saat diwawancarai diruang kerjanya (11/06/2020)  mengatakan, dalam status pekerja hanya ada dua yaitu PKWT dan PKWTT, tidak ada istilah lain, dan perjanjian itu harus  terdaftar di Disnaker Kabupaten Kota setempat.

Buntut dari aksi mogok kerja beberapa karyawan merasa khawatir akan adanya tindakan intimidasi dari perusahaan, “kami takut pak nanti kami diintimidasi, takut dimutasi ditempat yang bukan bidang kami dan kemudian kami di PHK dengan alasan tidak bisa bekerja”. Ungkap salah satu pekerja lainnya.

Anggota DPRD OKU Timur Adi Munadi menilai sesuai Pasal 144 UU No.13 Tahun 2003 pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. “jadi buruh tidak perlu khawatir, dan jika memang adanya intimidasi silakan laporkan”. Tegasnya.

Produsen beras raja sendiri enggan menanggapi hal tersebut, dengan tidak membalas surat permintaan klarifikasi dan tanggapan dari Media Advokasi. (SR/ANS)

Popular Posts