Diferensiasi KPK Dalam Sistem Ketatanegaraan, Dulu Dan Setelah Revisi UU KPK (UU NOMOR 19 TAHUN 2019)


Oleh: Nugraha Ray Pradana 
Mahasiswa Hukum Tata Negara Uin Imam Bonjol Padang
 
 Pasca amandemen terakhir UUD 1945 tahun 2002 sistem ketatanegaraan indonesia mengadopsi konsep yang disebut dengan Separation of power (pemisahan kekuasaan) yang dipopulerkan oleh Montesquieu, konsep ini merupakan dokterin yang membagi fungsi pemerintahan atas tiga cabang kekuasaan, Eksekutif, legislatif dan Yudikatif.
  
 Kekuasaan Eksekutif yang dipegang dan dilaksanakan oleh presiden dan paramentrinya sebagai pelaksana jalannya pemerintahan dan melaksanakan UU.
   
Kekuasaan Legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di parlemen untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang. (law creating function)
   
Kekuasaan yudikatif, yang dijalankan oleh badan-badan peradilan, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, untuk mengawal dan menjalankan perintah Undang-Undang. (law applying function).
       
Berdasarkan UUD 1945 versi amandemen, sistem ketatanegara tidak lagi menganut model pembagian kekuasaan (division of power) akan tetapi pemisahan kekuasaan (separation of power) hal tersebut dimaksudkan guna terimplementasinya prinsip check and balance bahwa setiap kekuasaan dibatasi dan memiliki tupoksinya masing-masing dalam Undang-Undang berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Seiring  berjalannya sistem ketatanegaraan pasca amandemen, UUD menjadi hukum tertinggi, dimana kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat dan MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. Maka dari itu konsekuensi ketentuan fundamental didalam UUD hasil perubahan yakni kedudukan disetiap lembaga negara adalah sama atau sederajat dan saling mengendalikan fungsi dan kewenangannya berdasarkan prinsip check and balances.
       
Konsekuensi lainya adalah MPR yang tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden,  hal ini didasarkan pada (pasal 6A ayat 1) “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”  ketentuan pasal ini mengakumulasi mandat masyarakat untuk menjadikan pemilu sebagai pilar utama negara yang demokratis untuk memilih pemimpin terutama Presiden dan Wakil Presiden sebagai pengisih jabatan lembaga negara terutama dalam cabang  kekuasaan eksekutif, yang bertugas dalam bidang pemerintahan serta melaksanakan undang-undang. 

Disamping itu juga Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh diberhentikan secara politik oleh lembaga Legislatif tetapi harus melalui prosedur hukum terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi sebelum diputuskan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini ketentuanyan diatur dalam (pasal 7B UUD 1945). Sama halnya dengan DPR seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu Legislatif baik pusat maupun daerah sebagai penyambung aspirasi masyarakat, secara garis besar fungsi DPR selain membuat dan menerbitkan Undang-Undang, menurut (pasal 20A ayat 1 UUD 1945) memiliki tiga fungsi 1. Fungsi Legislasi dimana DPR mempunyai kewenangan untuk membentuk Undang-Undang bersama Presiden salah satu contoh dari fungsi legislasi ini adalah menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), kemudian DPR juga dalam fungsi legislasi ini menyusunn dan membahas  rancangan Undang-Undang (RUU), menerima RUU yang diajukan oleh DPD mengenai otonomi daerah, menetapkan Undang-Indang bersama Presiden serta menyetuji atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (perpu) yang dikeluarkan oleh Presiden. 2. Fungsi Anggaran adalah DPR membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. 3. Fungsi Pengawasan fungsi pengawasan ini merupakan kolaborasi dari dua fungsi tadi dimana DPR melaksanakan pengawasan dalam pelaksanaan Undang-Undang dan APBN dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
 
 Selanjutnya sebagai mekanisme penegakan hukum dalam sistem ketatanegaran maka dibentunklah badan kekuasaan kehakiman, yang menyeleggarakan peradilan  sebagai instrumen penegakan hukum berdasarkan UUD 1945. Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan dibawahnya seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian kekuasaan kehakiman lainya yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial. Dalam perkembangan lembaga-lembaga negara pasaca amandemen tiga cabang kekuasaan tersebut ternyata tidak sepenuhnya efektif dan maksimal dalam menyelesaikan kompleksitas ketatanegaraan modren yang terjadi. Sehingga dengan problematik kelembagaan tersebut maka muncul lah lembaga lembaga negara independen state auxliliary agencies, daras hukum pembentukan lembaga independen ini bervariasai ada yang dibentuk dengan adanya amanat perintah UUD constitution allly entrusted power contohnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bank Indonesia (BI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Yudisial (KY), dan organ lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang legislatively estrusted power, seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Serta pembentukanlainya dengan adanya keputusan Presiden contohnya seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan banyak lagi, dengan dasar hukum yang berbeda, pembentukan lembaga negara independen ini merupakan cara dalam menyelesaikan persosalan ketatanegaran yang terjadi secara constitutional. Dalam bingkai implementatif ketatanegaran di Indonesia, secara komprehensif lembaga-lembaga negara independen harus memenuhi syarat tertentu.
Pertama, Dasar hukum pembentukan secara normatif menyatakan kemandiran dalam menjalankan tugas dan fungsinya terlepas dari controlling cabang kekuasan lainnya.
Kedua, Dalam menjalankan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Ketiga, Sistem kepemimpinan lembaga independen adalah kolektif kolegial, secara jumlah keanggotaan dan komisioner bersifat ganjil guna mengambil keputusan mayoritas suara.
Keempat, Yang paling terpenting adalah struktur kepemimpinan lembaga independen tidak dikuasai atau berasal dari partai politik tertentu.
Berdasarkan uraian diatas dengan adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini diharapkan mendatangkan suatu perubahan konfigurasi politik dari yang awalnya sistem politik yang otoritarianisme menuju sistem politik yang demokratis,  diterapkan untuk menggeserkan pola kekuasaan yang awalnya bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Dalam tulisan ini penulis menyoroti satu lembaga negara independen yang lahir dan bergerak dalam paradikma esensial penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai penyakit akut negeri ini. Yaitu Komisi Pemberantiasan Korupsi (KPK). KPK didesain khusus sebagai lembaga yang memiliki kemampuan menindak kasus korupsi guna terselenggaranya pemerintahan yang akuntabel, efektif, efisien dan berkeadilan serta jauh dari peraktik tindak pidana korupsi.
Eksistenti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebelum Revisi.
 
 Sebagai mandat reformasi KPK dibentuk dengan sprit yang luar biasa untuk hadir sebagai lembaga yang memiliki agenda penting yaitu pemberantasan tindak pidana korupsi, kiprah KPK dimulai ketikah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK disebutkan sebagai organ lembaga negara yang penting contitutional importent, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sala satu alasan lain dibentuknya KPK adalah karena tidak maksimalnya Kejaksaan dan Kepolisian dalam menangani kasusu korupsi, pembentukan KPK ini sebagai  terigger mechanism dalam artian untuk mendorong atau sebagai imunitas agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga lainya seperti Kejaksan dan Kepolisian bisa berjalan secara lebih masif dan sistematis. Melihat hal demikian kehadiran KPK memberikan jawaban atas merebaknya peraktik korupsi di negara ini, sehingga negara membutuhkan lembaga yang secara khusus dalam pemberantasan korupsi, dan KPK adalah jawaban dari semua itu.
 
Lebih lanjut mengutip dari buku Zainal Arifin Mochtar dengan judul, Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, disebutkan “Secara yuridis, alasan terbentuknya KPK dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UU KPK yang menyatakan sebagai berikut”
Tindak pidana korupsi di indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
 
 Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa
 
 Penegakan hukum untuk memberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenanagan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal,intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan”.  berdasarkan urainan diatas diharpkan pemberantasan korupsi melalui KPK dapat berjalan secara maksimal
KPK Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 KPK disebutkan sebagai lembaga yang memiliki kedudukan dan bersifat independen dan diperkuat dalam beberapar putusan Mahkamah Konstitusi yakni Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan MK No 19/PUU-V/2007, Putusan MK No. 37-39/PUU-VII/2010, Putusan MK No 5/PUU-IX/2011. Berdasarkan beberapa putusan MK tersebutlah semakin memperkuat posisi KPK sebagai lembaga negara yang independen bebas dari campur tangan instanti atau kekuasan manapun, lebih lanjut dijelaskan oleh Zainal Arifin Mochtar independensi KPK tidak sekedar independensi yang tercerminkan secara institutional saja, melainkan independensi secara fungsional, maksudnya adalah KPK sebagai independent agency dirumuskan sebagai lembaga negara yang secara kelembagaan berada diluar cabang kekuasaan utama baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Independensi KPK mengakomodasi penyelenggara negara dan pemerintahan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang.
  
Tugas dan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsinya sebaimana yang tertera dalam bab II pasal 6 undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 memiliki ruang lingkup yang luas dan strategis, tugas KPK tidak hanya sebatas berada diwilayah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan melainkan memliki ruang gerak dengan akselerasi yang setrategis dalam menidak kasus korupsi. Tugas dan kewenangan KPK dalam Undang-Undang tersebut dapat melaksanakan supervisi kepada instansi yang berwenang untuk melakukan upaya penindakan peraktik tindak pidana korupsi, serta dapat melakukan monitor terhadap penyelenggara negara. Selanjutnya dalam pasal 7 dijelaskan dalam melaksanakan tugas kordinasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a Komisi Pemberantasan Korupsi berwenanagn untuk melakukan kordinasi terhadap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi serta menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan meminta laporan instansi terkait mengenai tindak pidana korupsi. Penjelasan pasal tersebut dapat diartikan sebagai strategi untuk mencegah kasus korupsi mengingat pencegahan kasusu korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah sehingga harus ada upaya preventif dalam hal pencegahan yang harus di gariskan oleh KPK.
  
Seiriring berjalannya waktu terjadi politik hukum yaitu tentang kebijakan resmi untuk meninjau kembali sebuah produk hukum  terhadap rekonstruksi Undang-Undang KPK yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pemegang kekuasan pembentuk UU dalam hal ini DPR melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK tersebut, dengan alasan KPK terlalu menjadi lembaga yang superpower dan melakukan penindakan-penindakan namun hasilnya belum maksimal, namun revisi undang-undang KPK menuai banyak penolakan dari berbagai pihak karena poin-poin dari revisi Undang-Undang KPK ini dianggap sebagai upaya melemahkan KPK, terlebih lagi revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan jelang akhir masa jabatan anggota DPR.
MEREVIEW KEMBALI REVISI UNDANG-UNDANG KPK
  
 Pada tanggal  17 september 2019 tahun lalu dalam sidang paripurna DPR secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang KPK, masyarakat indonesia secara tegas menolak revisi Undang-Undang KPK tersebut, alasanya adalah kebebasan kerja KPK sudah pasti tidak maksimal dalam hal pemberantasan korupsi karenanya subtansi dari revisi Undang-Undang KPK ini justru mengendurkan KPK dalam mengusust sebuah kasusu korupsi, faktanya selama satu dasawarsa ini, fenomena dan prilaku korupsi seakan maraka terjadi di indonesia korupsi seakan sudah menjadi prilaku kolektif dikalangan para pejabat negara Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang selama ini kita kenal sebenarnya semankin gencar dalam melakukan pemantauan bahkan penangkapan terhadap para pejabat negara atau siapa saja yang melaukan tindak pidana korupsi dan hasilnya dapat kita katakan signifikan kerna sudah banyak para pelaku tindak pidana korupsi yang ditangkap dan dikenai hukuman vonis penjara sesuai tingkat korupsi yang dilakukan
KPK sebagai representasi penegak hukum seharusnya diberi kewenagan mutlak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi mengingat bahwa korupsi merupakan (extraordinary crime) atau kejahatan yang luar biasa, ketika kejahatan korupsi ini di lakukan dengan sekala yang luar biasa besar maka sudah barang tentu akan menghadirkan krisis multidimensional yang mencakup segala aspek, menyebabkan kemiskinan, merugikan negara serta bisa mencoreng citra negara di tatanan global, maka dari itu negara harus hadir dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi, harus ada upaya hukum yang luar biasa pula (extraordinary law) penegakan hukum yang preventif merupakan benteng utama dalam meminimalisir kasus korupsi di republik ini dan KPK adalah jawaban dari semua itu, akan tetapi mulusnya pengesahan revisi Undang-Undang KPK dikhawatirkan dapat mendatangkan kabar gembira bagi para calon koruptor, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di indonesia ketika itu sebagai bentuk upaya untuk menyelamatkan KPK, para mahasiswa pun mengkritisi, memperotes serta menolak pengesahan revisi Undang-Undang KPK tersebut dan berujung ke Mahkama Konstitusi. Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis sebagaimana di atur dalam pasal 1 ayat 2 UUD bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan menurut undang-undang dasar, demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa ketika itu untuk menolak hasil revisi Undang-Undang KPK adalah bagian dari demokrasi para mahasiswa sebagai agent of change turun kejalan untuk menyurakan apa yang menjadi asprsai masyarakat. 
Persoalan yang timbul dari revisi Undang-Undang KPK sekarang adalah beresiko mecederai nomenklatur  lembaga antirasuah itu, KPK tidak lagi lembaga negara independen sebagaimana tertera pada pasal 1 ayat (3), pasal 3 UU KPK hasil revisi, berdasarkan paparan pasal diatas KPK hari ini berada dibawah rumpun eksekutif dan inilah yang membuat hilangnya independensi KPK sebagai penegak hukum artinya KPK berdasarkan Undang-Undang KPK versi revisi berada diranah otoritas Presiden, hal tersebut tentunya bertentangan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait kelembagaan KPK, dan salah satunya adalah Putusan Mahkama Konstitusi Nomor:012-016-019/PUU-IV/2006 dalam putusannya MK menegaskan secara konstitusional KPK adalah lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh bahkan intervensi dari lembaga atau instansi lain, disamping itu juga KPK termasuk instrumen untuk melindungi dan menjaga hak asasi manusia terutama berkaitan dengan hak  ekonomi setiap warga negara yang bisa dirugikan akibat dari perbuatan korupsi, KPK juga merupakan bagian penting dari organ lembaga negara (ccontititional important) karena domain KPK adalah menyelamtkan negara dari kerugian yang ditimbulkan melalui dampak korupsi, atas dasar itu memasukan KPK kedalam bagian Eksekutif dianggap memangkas wewenang KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 semakin memperkuat KPK masuk keranah rumpun eksekutif. Selanjutnya Poin lain yeng berpotensi meretakkan independensi KPK yaitu pegawai KPK termasuk aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana diatur dalam.
 
pasal 1 ayat 6 menyebutkan pegawai komisi pemberantasan korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
 
pasal 24 ayat 2 pegawai Komisi Pemberantasan  Korupsi merupakan korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
tentu atas dasar pasal tersebutlah fungsionarisarai KPK akan berpayaung kepada  Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, sehingga KPK tidak lagi mandiri (independen) sebagaimana mestinya. Dalam konteks lain adanya dewan pengawas yang akan memantau KPK dalam penanganan perkara korupsi dewan pengawas tersebut yang memiliki wewenang untuk memberikan atau tidak memeberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, pertanyaan yang muncul dipubik bagaimana seandainya dewan pengawas tidak memberikan izin sedangkan hasil investigasi KPK telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi lantas siapakah yang mengawasi dewan pengawas, inilah salah satu yang menimbulkan eskalasi pro kontra dan perdebatan dari hulu hingga hilir baik dikalngan elit hingga masyarakat umum yang kemudian menimbulkan polemik akibat dari revisi Undang-Undang KPK tersebut dan masi banyak lagi ketentuan-ketentuan didalam pasal-pasal UU hasil revisi itu yang melemahkan KPK. KPK sendiri mengidentifikasi ada 26 poin yang bersiko melemahkan ruang gerak KPK
contohkan saja  pemangkasan kewenanagn penyadapan, OTT yang menjadi lebih sulit dilakukan, berkurangnya kewenanagan penuntutan dan lain sebagainya yang kesemuaan nya itu adalah cara untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi dan akan dijadikan alat bukti oleh KPK, tetapi segala sistem itu tidak lagi menjadi tolak ukur bagi KPK sehabis adanya UU hasil revisi, seharusnya dalam sebuah perkara pidana itu bukti harus lebih terang dari pada cahaya asasnya menyebutkan in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores , akankah dengan adanya ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang KPK sekarang bukti-bukti yang dicari dan dikumpulkan oleh KPK akan seterang cahaya? tentunya ini adalah sesuatu yang sulit untuk diprediksi (unpredictable) karena berkaitan dengan proses pembuktian maka dari itu adanya dewan pengawas tidak termasuk bagian dari penegak hukum (law enforcer)
lalu selepasa itu berdasarkan pasal 45 ayat 1 menerangkan penyidik komisi pemberantasan korupsi dapat berasal dari Kepolisisan, Kejaksaan, penyididk pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, dan penyelidik komisi pemberantasan korupsi. Ini merupakan sala satu norma yang dapat mencelakai independensi KPK dan menutup ruang bagai KPK dalam menyelesaikan kasus korupsi, bagaimana seandainya KPK sedang menangani kasusu korupsi di institusi kepolisian atau kejeksaan bagaimana bisa kedua institusi itu melakukan penyidikan di institusinya sendiri apabila penyidik berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan, ini jugalah yang membuat KPK tidak leluasa dalam mengusut tindak pidana korupsi, segalah setrategi KPK untuk menumpas kasus korupsi harus di monitori oleh dewan pengawas, maka semua terlihat dan seakan membuat kiprah KPK bagaikan elang tak bercakar 
Namun disamping itu masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh oleh masyarakat untuk meninjau atau membatal kan revisi Undang-Undang KPK ini dengan cara menguji konstitusionalitas UU tersebut dalam bentuk judicia review ke Mahkamah Konstitusi (MK), Waktu itu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai elemen masyarakat turun ke MK untuk uji materil bahwa perubahan Undang-Undang KPK tidak bertentangan atau bertentangan dengan UUD (inkonstitutional.) maka MK lah sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of The Constitution) yang akan memutuskan dalam gelar perkaranya.
Cara lain yang dapat di reservasi yaitu dengan mekanisme legislative review, yaitu  upaya yang dimiliki lembaga legislasi untuk memformulasikan sebuah produk hukum yang relevan untuk menyelesaikan problem-problem hukum yang timbul di tengah-tengah masyarakat atau disuatu negara, seperti revisi Undang-Undang KPK yang banyak menuai kontroversi, Presiden dengan para anggota legislatif (DPR) yang baru dilantik untuk periode 2019-2024, untuk menakar kembali serta merubah subtansi di dalam Undang-Undang KPK dan bisa diterimah oleh semuah pihak dan tidak dinilai melemahkan KPK dalam penegakan hukum.
Rekomendasi terakhir adalah mengeluarkan atau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) oleh Presiden untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK yang sudah disahkan oleh DPR, berdasrkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 pasal 7 ayat 1 perpu sederajat kedudukannya dengan Undang-Undang dengan kata lain perpu adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh presiden untuk menyelesaikan problematika dan dilema krisis konstitusioanl akibat dari revisi UU KPK dengan adanya perpu masyarakat akan meliahat bahwa Presiden bersama rakyat karena dengan adanya perpu Presiden bisa membatalkan untuk menunda pemberlakuan revisi Undang-Undang KPK. Namun demikian masyarakat tetap berharap Presiden untuk terus mengawal peberantasan kasus korupsi secara berkesinambungan.
Menurt Lawrence M  Friedman keberhasilan penegakan hukum ada empat elemen: Pertama (legal Substance) isi hukum, Kedua (legal Structure), Ketiga (Legal Culture) Keampat, (Legal Impec) Friedman mengemukakan bahwa dalam setiap produk hukum harus memenuhi struktur dan keempat pola tadi sehingga produk hukum yang dilahirkan akan sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyrakat serta menjawab segala problematik Konstitusionalitas hukum yang terjadi.

Popular Posts