Terjadinya Defisit BPJSKes 2019, Nih kata Kang Dede Yusuf

Bandung,MA-Disinggung mengenai terjadinya proyeksi defisit BPJS Kesehatan 2019 yang mencapai Rp 28 triliun, Dede Yusuf menjelaskan, pangkal persoalan terjadinya defisit itu karena adanya ketidakseimbangan cash in dan cash out.

Cash in ini diperoleh dari penerimaan APBN dan APBD berupa PBI. Kemudian penerimaan dari pekerja penerima upah baik itu perusahaan, PNS, TNI, Polri, maupun perusahaan swasta dan peserta mandiri. Namun, kata dia, perusahaan swasta dan peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerma Upah (PBPU) ini belum maksimal melakukan pembayaran BPJS Kesehatan ini setiap bulannya.

“Padahal laporan defisit akhir tahun 2018 lalu sebesar Rp 16 triliun dan proyeksi defisit BPJS Kesehatan pada akhir 2019 mencapai 28 triliun. Artinya, kita bisa melihat ada penambahan defisit hampir sebesar Rp 1 triliun setiap bulannya,” ungkap Dede.

Dalam PBPU ini berdasarkan data yang diterima baik dari pusat maupun dari setiap cabang BPJS Kesehatan, masih ada 45% lagi jumlah tunggakan. Mengenai hal ini, pihaknya pun turut menelusuri alasan peserta mandiri ini tidak melakukan pembayaran di antaranya peserta mandiri ini merasa belum membayar karena belum sakit.

“Kita juga harus melihat ketika orang berpenghasilan hanya UMR, tetapi harus membayar satu keluarga dan tidak dibayarkan oleh perusahaan, tentunya ini akan memberatkan. Ini harus kita tinjau ulang lagi dari sisi itu. Selain itu, memang kalau jaminan sosial itu artinya tanggung jawab pemerintah lebih besar daripada tanggung jawab masyarakat walaupun ini (BPJS Kesehatan) sifatnya gotong royong tetapi pemerintah harus lebih besar lagi melakukan penjaminan universal health coverege (UHC),” kata dia.

Selain itu, terkait besaran angka aktuaria setiap bulannya untuk bisa meng-cover berbagai penyakit dalam satu skala. Saat ini, besaran aktuaria untuk kelas III pada 2018 sebesar Rp 45.000/orang/bulan yang merupakan angka optimal untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Sedangkan besaran PBI untuk kelas III ini, lanjut Dede, masih berada pada Rp 25.500/bulan/orang, artinya masih ada subsidi sekitar Rp 10.000 dari jumlah PBI sebesar 90%.

“Angka aktuaria ini harus sampai pada angka optimal sebesar Rp 45.000/orang/bulan. Itulah sebabnya pemerintah akan menutup defisit ini dengan cara menaikkan premi,” pungkasnya,(3/8/19).(yon)

Popular Posts