Wartawan Kerap Terjebak Aturan Asas Praduga Tak Bersalah



Bandung, MA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat merasa perlu memberikan informasi terkait aturan main dalam pemberitaan. Mengingat ada regulasi lain selain Undang-undang Pers dan kode etik jurnalistik yang mengikat wartawan di lapangan.

Karena itu, PWI Jabar menggelar kegiatan Diskusi Hukum Pers Dalam Rangka HPN 2019, di Kantor PWI Jabar, Jalan Wartawan, Kota Bandung, Jumat (8/3/19).

Salah satu narasumber, Ketua Komisi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat yang juga merupakan Ketua Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers, Kamsul Hasan mengatakan, kerap kali wartawan terjebak pada aturan asas praduga tak bersalah.

Dia mencontohkan, saat pihak Kepolisian melakukan jumpa pers usai menangkap pelaku kriminal lantas meyebutkan nama-nama para pelaku tersebut, wartawan terjebak untuk menuliskan nama para pelaku kriminal tersebut secara gamblang walaupun statusnya di mata hukum belum menjadi pelaku.

“Wartawan tidak boleh menggunakan gaya polisi. Saat ditangkap di lapangan sudah menetapkan sebagai pelaku. Karena ada prosesnya, ada istilah terduga, tersangka. Belum pelaku,” jelas Kamsul.

Lebih lanjut Plt Ketua PWI Jabar, Hilman Hidayat memaparkan dari beberapa aturan yang mesti dipatuhi, pihaknya lebih konsentrasi membahas Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Mengingat dari adanya Undang-udang SPPA ini, Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Penulisan Ramah Anak (PPRA).

Maka bila sebelumnya berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU No 11 Tahun 1999 tentang Pers, maka pada 2019 ini pedoman itu bertambah dengan PPRA.

“Ini awalnya diskusi dua minggu lalu antara penguji PWI dengan Dewan Pers. Ternyata masih banyak pemberitaan media cetak maupun televisi menampilkan sosok korban kekerasan dan anak. Padahal dalam perundang-undangan peradilan pidana ini kan harusnya disembunyikan,” ungkap Hilman.

Ia menyampaikan, UU SPPA ini akan mengintervensi UU Pers, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, dan UU Kehakiman. Pasal 105 UU SPPA mengamanatkan stake holder yang terkait dengan peradilan anak untuk melakukan penyesuaian dalam waktu lima tahun sejak UU SPPA diundangkan.

Hilman mengatakan, bilamana pemberitaan ada yang melanggar undang-undang tersebut, tentu saja akan mendapatkan hukuman pidana dan denda. Misalnya saja, bilamana foto anak korban kekerasan ditampilkan secara gamblang. Atau memberitakan identitas lengkap sang anak kepada publik, ancamannya, dipidana lima tahun dan denda Rp500 juta

“Dan itu tidak hanya menyapu golongan jurnalis saja. Tetapi juga kalangan penyidik dari kejaksaan juga kalau dia mengekspos itu,” imbuhnya.

Menurut Hilman, memang sejauh ini kerap terjadi salah kaprah dalam melindungi korban kekerasan atau perkosaan yang notabene anak-anak. Misalnya saja, momen tersebut dijadikan oleh para pejabat untuk menunjukan simpatinya kepada korban dengan memberikan sejumlah uang. Bersamaan dengan itu pun para jurnalis meliputnya.

“Karena ketika dalam titik tertentu suka ada kasus yang sepertinya narsis, ketika ada korban malahan ibu pejabat dan bapak pejabat ngasih hadiah, dikasih uang. Ini sebenarnya malah membuka indentitas (korban),” paparnya.

Kesadaran untuk melindungi anak-anak ini, kata dia, harus ada sinergi dari berbagai pihak, termasuk wartawan dan masyarakat. Sebab, profesi wartawan tidak hanya diikat oleh UU Pers dan KEJ. “Yang mencengkram, diawasi juga oleh undang-undang yang lain. Ada Undang-Undang ITE, dan SPPA,” pungkas Hilman. (yon/bb/pwi)

Popular Posts